, ,

Potret Gulita Kampung Tongkol Jakut yang 27 Tahun Tak ‘Kenal’ Matahari

oleh -108 Dilihat
oleh

Jakarta Utara — Potret Gulita Kampung Tongkol Jakut yang 27 Tahun Tak ‘Kenal’ Matahari Di tengah gemerlap ibu kota, ada satu sudut yang hidup dalam kegelapan. Kampung Tongkol, sebuah kawasan padat di pesisir Jakarta Utara, sudah hampir tiga dekade tak pernah benar-benar merasakan hangatnya sinar matahari. Bayangan gedung-gedung tinggi dan dinding pemukiman rapat membuat warganya hidup dalam gulita sepanjang hari.Potret Gulita Kampung Tongkol Jakut yang 27 Tahun Tak 'Kenal' Matahari

baca juga:Remaja Hendak Tawuran di Jakpus Ngacir Didatangi Polisi,3 Orang Ditangkap

Hidup dalam Bayangan

Lorong-lorong sempit di Kampung Tongkol selalu basah dan redup. Atap seng saling tindih, nyaris tak menyisakan celah cahaya. Bahkan pada siang hari, warga harus menyalakan lampu listrik untuk sekadar melihat jalan di depan rumah.

“Sudah 27 tahun kami begini. Anak-anak lahir dan besar tanpa pernah tahu bagaimana rasanya sinar matahari masuk ke dalam rumah,” kata Murni, seorang ibu yang menetap di sana sejak tahun 1998.

Dampak pada Kesehatan dan Psikologi

Minimnya paparan sinar matahari berdampak langsung pada kesehatan warga, terutama anak-anak dan lansia. Beberapa kasus kekurangan vitamin D, masalah pernapasan, hingga kulit lembab yang memicu penyakit jamur menjadi cerita sehari-hari.

Tak hanya fisik, kondisi gelap permanen juga menimbulkan beban psikologis. “Anak-anak jadi jarang main di rumah, mereka lebih suka di luar kampung karena bisa melihat terang,” ungkap seorang relawan komunitas kesehatan.

Potret Ketidakadilan Ruang Kota

Kampung Tongkol adalah cermin nyata ketimpangan tata ruang ibu kota. Kawasan ini dihimpit proyek infrastruktur dan bangunan tinggi yang berdiri megah. Sementara itu, warganya hidup berdesakan dalam rumah petak dengan ventilasi minim.

“Jakarta ini seperti terbagi dua dunia: yang satu terang benderang dengan fasilitas, yang satu lagi hidup di kegelapan,” ujar seorang aktivis perkotaan.

Upaya Warga dan Komunitas

Selama bertahun-tahun, warga mencoba berbagai cara, mulai dari membuat skylight sederhana, melubangi atap seng, hingga menggunakan kaca bekas untuk menangkap cahaya. Namun, upaya itu tak banyak membantu karena struktur bangunan di sekitarnya tetap menutup akses matahari.

Komunitas lokal pun turun tangan dengan memberikan lampu hemat energi, mural warna-warni, dan program ruang terbuka. “Kami ingin setidaknya ada rasa hidup, meski tanpa sinar matahari langsung,” kata koordinator komunitas.

Harapan Perubahan

Warga berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah, bukan hanya dalam bentuk bantuan listrik, tetapi solusi tata ruang yang memberi akses cahaya alami. “Kami tidak minta banyak, hanya ingin anak-anak bisa merasakan hangatnya matahari di rumah mereka,” ujar Murni dengan mata berkaca-kaca.

Penutup

Kampung Tongkol di Jakarta Utara adalah potret gulita di tengah kota megapolitan. Selama 27 tahun, warganya hidup tanpa “kenal” matahari—sebuah kondisi yang seharusnya tidak dialami di kota sebesar Jakarta. Cerita ini bukan hanya tentang kegelapan, melainkan juga tentang harapan: bahwa setiap orang berhak merasakan cahaya, baik secara harfiah maupun dalam arti kehidupan yang lebih layak.


Apakah Anda ingin saya buatkan versi foto-esei naratif (tulisan singkat yang menggambarkan suasana dengan imajinasi visual kuat), agar liputannya lebih emosional?

Skintific

No More Posts Available.

No more pages to load.